Radio, online -Opiniaun ne’e ninia kontiudu tomak responsavel husi hakerek nain. Redasaun fo pasu menu ne’e hodi ejerse ema hotu nia opiniaun konaba asuntu ruma iha prosesu dezenvolvimentu Timor Leste.
Nyaris, setiap hari dan setiap saat, media selalu terbit dengan bermacam ragam peristiwa. Peristiwa-peristiwa yang sudah barang tentu mempunyai nilai berita yang aktual, faktual, impak dan mengandung nilai proksimitas, serta keluarbiasaan. Sebagai negara baru, Timor-Leste masih menyimpang segudang permasalahan. Mulai dari terlantarnya pengungkapan beberapa kasus, seperti konspirasi dibalik krisis politik dan militer pada 2006, hingga tindak korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang kian merajalela. Perilaku KKN ini praktis tidak terungkap ke publik bukan hanya karena lemahnya sistim hukum, namun media juga masih lemah dalam melaksanakan ‘peran social controllernya’. Lalu apa tindakan strategis yang harus dilakukan media terhadap fenomena ini?
Dalam sebuah workshop bersama yang diselenggarakan oleh beberapa asosiasi jurnalis dan Timor-Leste Media Development Centre (TLMDC) dalam rangka memperingati hari kebebesan pers Internasional pada 3 Mei 2011. Seorang aktivis dan juga wartawan senior, Hugo Fernandes mengatakan media Timor-Leste dalam publikasinya sekedar melaporkan apa yang terjadi, tetapi tidak pernah mencari tahu kejadian dibalik peristiwa itu. Untuk itu Ia mengharapkan investigasi terhadap suatu peristiwa sangatlah diperlukan guna mengungkap proses dan alasan dibalik kejadian itu.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Amo Joao Aparicio dalam program talkshow TVTL pada Jumat (2/12) malam. P.e. Aparicio mengatakan media sebetulnya cukup berperan dalam memerangi korupsi, akan tetapi apa yang terjadi selama ini adalah media cenderung mempublikasikan berita-berita politik dan tidak memiliki niat untuk meliput dan mempublikasikan masalah korupsi yang lagi mencuat.
Selayaknya, berbagai persoalan yang muncul di Negara baru ini, menjadi incaran media. Terlebih menghadapi fenomena KKN yang terjadi di beberapa institusi pemerintah seperti kolusi dalam proses tenderisasi proyek pembangunan selama berberapa tahun terakhir. Ini merupakan peristiwa yang layak dijadikan sebagai buah informasi, yang bernilai tinggi dan memiliki impak bagi proses penegakan hukum dan terjaminnya transparansi dan akuntabilitas di Timor-Leste.
Sudah saatnya media Timor-Leste membantu lembaga independen Komisi Anti Korupsi (KAK) dengan melakukan reportase investigasi untuk mengungkap konspirasi terjadinya KKN dalam institusi-institusi pemerintah. Dugaan KKN proses tender proyek instalsi listrik Negara di Procurement EDTL [Eletrisidade de Timor-Leste], kasus penyuapan di Departemen Bea dan Cukai [Alfrandega], penyeludupan obat terlarang [droga] melalui perbatasan belum terungkap. Tindakan kolusi dan penyuapan ini telah membuat beberapa oknum karyawan EDTL dan Alfandega menjadi OKM [Orang Kaya Mendadak] di Negeri ini. Para oknum ini diyakini telah membangun beberapa usaha bisnis di beberapa tempat di wilayah Timor-Leste. Cukup menarik dan terhormat apabila media membantu KAK melakukan reportase investigasi untuk mengungkapkannya.
Mungkin kita bisa menjadikan TEMPO SEMANAL dan CJITL [Centru Jornalizmu Investigativu Timor-Leste] sebagai referensi dan cermin bagi media Timor-Leste. Sebab keduanya telah beberapa kali mempublikasikan hasil reportase investigasi mereka berkaitan dengan masalah korupsi yang melibatkan beberapa pejabat pemerintah. Hasil konkrit reportase investigasi dari TEMPO SEMANAL adalah terungkapnya penjualan fasilitas [mobil] Negara yang diduga melibatkan Sekretaris Negara untuk Urusan Bencana Alam, Jacinto Rigoberto dan Penasehatnya, Anito Matos kepada seseorang. Berita ini sempat menjadi heboh, namun proses hukumnya masih belum jelas hingga sekarang.
Beberapa kasus lain juga, telah menjadi pusat perhatian publik, dan telah membangunkan para aktivis, mahasiswa dan anggota LSM, yang selama ini bungkam untuk bersuara. Hal ini telah menjadi pengalaman besar bagi kita sebagai anak-anak bangsa, untuk mencari paradigma baru ke depan. Sehingga persoalan-persoalan seperti ini, tidak membudaya. Menurut Komisaris KAK, Aderito de Jesus Soares, ada 27 kasus korupsi diinvestigasi oleh KAK (TVTL talkshow, 2 Desember 2011. Dan menurut publikasi beberapa media bahwa ada delapan hingga sepuluh kasus yang telah diserahkan kepada pihak Kejaksaan Agung untuk diproses lebih lanjut. Akan tetapi, proses hukum terhadap kasus tersebut masih membutuhkan informasi mendalam dan pembuktian yang kuat dari semua pihak.
Oleh karena itu, cara yang harus dilakukan adalah melalui peran media. Artinya, media tidak hanya sekedar melakukan peliputan, lalu mengemasnya dalam sebuah straight news [berita biasa] atau pun news feature. Namun lebih dari itu, media dapat melakukan peliputan yang lebih mendalam [in depth] di balik suatu peristiwa yang terjadi. Cara terbaik dan telah banyak dilakukan di negara-negara besar, seperti Amerika Serikat, Indonesia serta negara besar lainnya, adalah reportase investigasi [investigative reporting]. Reportase investigasi dilakukan dengan tujuan, untuk mengungkap sesuatu di balik sebuah peristiwa, yang berpengaruh dan berdampak bagi kehidupan orang banyak. Bahkan mengungkap sesuatu yang tersembunyi sekalipun.
Jadi Investigative reporting dapat dilakukan untuk mengungkap kasus seperti, korupsi, penyeludupan, pembunuhan secara misterius dan kasus lain, yang sengaja disembunyikan dari publik. Memang menjadi perhatian khusus dalam melakukan peliputan khusus investigasi. Namun hal yang perlu dipertimbangkan, adalah laporan investigasi itu dilakukan melalui suatu proses yang cukup panjang, tidak hanya sekedar melakukan peliputan untuk berita biasa atau pun news feature. Namun, tantangan yang paling berat pun bakal dihadapi oleh seorang wartawan investigasi. Misalnya, ancaman-ancaman berupa teror mental, penghadangan, penculikan bahkan pembunuhan.
Ini sangat membutuhkan sebuah metode atau taktik yang handal untuk menelusurinya. Artinya, wartawan investigasi harus melakukan penulusuran terhadap informasi faktual atau melakukan “penyamaran” untuk memperoleh informasi-informasi yang berkaitan dengan sebuah kasus. Sejauh ini memang masih terjadi pro kontra, soal upaya penyamaran ini. Ada yang menyebut, penyamaran dapat dilakukan, tetapi tetap pada koridor kode etik. Juga ada yang menyebut, penyamaran dapat saja dilakukan, sejauh kasus tersebut menyangkut nasib atau kepentingan banyak orang.
Meskipun “penyamaran” itu melanggar kode etik jurnalis. Akan tetapi, jika kasus itu menyangkut nasib orang banyak, maka sangatlah perlu cara itu dilakukan, sebab media sendiri melakukan pelayanan terhadap masyarakat, bukan terhadap kelompok atau pribadi tertentu.
Jadi, sangatlah penting jika media Timor-Leste mengambil inisiatif untuk melakukan liputan investigasi, selain menulis berita-berita biasa. Ini tidak berarti, media harus meninggalkan liputan straight news itu. Tetapi, Ini merupakan suatu panggilan nurani terhadap persoalan atau pun kasus-kasus yang muncul di negeri ini.
Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa media menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial secara maksimal. Karena memang fungsi media tidak semata-mata memberikan informasi atas peristiwa-peristiwa yang terjadi. Namun juga melaporkan fakta dibalik suatu peristiwa. Kalau tokh hasil akhirnya laporan investigasi itu tidak diterima, maka publik sendirilah yang dapat mengambil suatu kesimpulan.
Percaya atau tidak, itulah hasil yang ditemukan. Adalah hak setiap orang untuk mengatakan ya atau tidak. Yang terpenting adalah media telah melaksnakan kewajibannya sesuai dengan mandat konstitusi. Ingat bahwa, “media itu independen dari sumber apapun, dan loyal terhadap masyarakat”, begitulah bunyi salah satu elemen jurnalisme oleh Tom Rossentil & Bill Kovach.
(Husi: Alberico Junior)
*Penulis adalah: Eks anggota Dewan Solidaritas
Mahasiswa Timor Leste, Dewan Mini Lautem
dan Pendiri Timor-Leste Media Development
Centre (TLMDC)
Email: [email protected] Mobile: 725 4078
Discussion about this post